Fitoremediasi
Pengertian menurut para ahli :
A. Subroto, 1996
Fitoremediasi adalah upaya penggunaan tanaman dan bagian-bagiannya untuk dekontaminasi limbah dan masalah-masalah pencemaran lingkungan baik secara ex-situ menggunakan kolam buatan atau reaktor maupun in-situ atau secara langsung di lapangan pada tanah atau daerah yang terkontaminasi limbah
B. Chaney dkk. 1995
Fitoremediasi didefinisikan juga sebagai penyerap polutan yang dimediasi oleh tumbuhan termasuk pohon, rumput-rumputan, dan tumbuhan air. Pencucian bisa berarti penghancuran, inaktivasi atau imobilisasi polutan ke bentuk yang tidak berbahaya
Ada beberapa metode fitoremediasi yang sudah digunakan secara komersial maupun masih dalam taraf riset yaitu metode berldanaskan pada kemampuan mengakumulasi kontaminan (phytoextraction) atau pada kemampuan menyerap dan mentranspirasi air dari dalam tanah (creation of hydraulic barriers).
Kemampuan akar menyerap kontaminan di dalam jaringan (phytotransformation) juga digunakan dalam strategi fitoremediasi. Fitoremediasi juga berldanaskan pada kemampuan tumbuhan dalam menstimulasi aktivitas biodegradasi oleh mikrobia yang berasosiasi dengan akar (phytostimulation) dan imobilisasi kontaminan di dalam tanah oleh eksudat dari akar (phytostabilization) serta kemampuan tumbuhan dalam menyerap logam dari dalam tanah dalam jumlah besar dan secara ekonomis digunakan untuk meremediasi tanah yang bermasalah (phytomining) (Chaney dkk., 1995).
Menurut Corseuil dan Moreno (2000), mekanisme tumbuhan dalam menghadapi bahan pencemar beracun adalah:
1. Penghindaran (escape) fenologis. Apabila pengaruh yang terjadi pada tanaman musiman, tanaman dapat menyelesaikan daur hidupnya pada musim yang cocok.
2. Ekslusi, yaitu tanaman dapat mengenal ion yang bersifat toksik dan mencegah penyerapan sehingga tidak mengalami keracunan.
3. Penanggulangan (ameliorasi). Tanaman mengabsorpsi ion tersebut, tetapi berusaha meminimumkan pengaruhnya. Jenisnya meliputi pembentukan khelat (chelation), pengenceran, lokalisasi atau bahkan ekskresi.
4. Toleransi. Tanaman dapat mengembangkan sistem metabolit yang dapat berfungsi pada konsentrasi toksik tertentu dengan bantuan enzim.
Secara alami tumbuhan memiliki beberapa keunggulan, yaitu: (i) Beberapa famili tumbuhan memiliki sifat toleran dan hiperakumulator terhadap logam berat, (ii) Banyak jenis tumbuhan dapat merombak polutan, (iii) Pelepasan tumbuhan yang telah dimodifikasi secara genetik ke dalam suatu lingkungan relatif lebih dapat dikontrol dibdaningkan dengan mikrobia, (iv) Tumbuhan memberikan nilai estetika, (v) Dengan perakarannya yang dapat mencapai 100 x 106 km akar per ha, tumbuhan dapat menghasilkan energi yang dapat dicurahkan selama proses detoksifikasi polutan, (vi) Asosiasi tumbuhan dengan mikroba memberikan banyak nilai tambah dalam memperbaiki kesuburan tanah (Feller, 2000).
Semua tumbuhan memiliki kemampuan menyerap logam tetapi dalam jumlah yang bervariasi. Sejumlah tumbuhan dari banyak famili terbukti memiliki sifat hipertoleran, yakni mampu mengakumulasi logam dengan konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuknya, sehingga bersifat hiperakumulator. Sifat hiperakumulator berarti dapat mengakumulasi unsur logam tertentu dengan konsentrasi tinggi pada tajuknya dan dapat digunakan untuk tujuan fitoekstraksi. Dalam proses fitoekstraksi ini logam berat diserap oleh akar tanaman dan ditranslokasikan ke tajuk untuk diolah kembali atau dibuang pada saat tanaman dipanen (Chaney dkk., 1995).
Mekanisme biologis dari hiperakumulasi unsur logam pada dasarnya meliputi proses-proses: (i) Interaksi rizosferik, yaitu proses interaksi akar tanaman dengan medium tumbuh (tanah dan air). Dalam hal ini tumbuhan hiperakumulator memiliki kemampuan untuk melarutkan unsur logam pada rizosfer dan menyerap logam bahkan dari fraksi tanah yang tidak bergerak sekali sehingga menjadikan penyerapan logam oleh tumbuhan hiperakumulator melebihi tumbuhan normal (McGrath dkk., 1997), (ii) Proses penyerapan logam oleh akar pada tumbuhan hiperakumulator lebih cepat dibdaningkan tumbuhan normal, terbukti dengan adanya konsentrasi logam yang tinggi pada akar (Lasatdkk., 1996). Akar tumbuhan hiperakumulator memiliki daya selektifitas yang tinggi terhadap unsur logam tertentu (Gabbrielli dkk., 1991), (iii) Sistem translokasi unsur dari akar ke tajuk pada tumbuhan hiperakumulator lebih efisien dibandingkan tanaman normal. Hal ini dibuktikan oleh nisbah konsentrasi logam tajuk/akar pada tumbuhan hiperakumulator lebih dari satu (Gabbrielli dkk., 1991).
Mekanisme penyerapan dan akumulasi logam berat oleh tumbuhan dapat dibagi menjadi tiga proses yang sinambung, yaitu penyerapan logam oleh akar, translokasi logam dari akar ke bagian tumbuhan lain, dan lokalisasi logam pada bagian sel tertentu untuk menjaga agar tidak menghambat metabolisme tumbuhan tersebut (Connel dan Miller, 1995). Pembentukan reduktase di membran akar berfungsi mereduksi logam yang selanjutnya diangkut melalui kanal khusus di dalam membran akar. Setelah logam dibawa masuk ke dalam sel akar, selanjutnya logam harus diangkut melalui jaringan pengangkut, yaitu xilem dan floem kebagian tumbuhan lain oleh molekul khelat. Berbagai molekul khelat yang berfungsi mengikat logam dihasilkan oleh tumbuhan, misalnya histidin yang terikat pada Ni dan fitokhelatin-glulation yang terikat pada Cd (Salt dkk., 1998).
B. Bunga Matahari (Helianthus anuusLinneus)
Berdasarkan nomenklatur (tata nama) bunga matahari mempunyai nama latin Helianthus annuus. Heli artinya matahari, anthus merupakan bunga, annuus adalah semusim. Oleh karena itu, Helianthus annuus (Sun flower) dapat diartikan sebagai bunga matahari atau bunga berumur semusim. Bunga matahari merupakan tanaman herba yang termasuk dalam famili Compositae (Asteraceae) yang diduga berasal dari Amerika Utara, tapi sekarang dijumpai di daerah tropika dan penyebarannya makin meluas ke beberapa negara Subtropika. Di Indonesia, pada tahun 1919 mulai ditanam di Jawa, Helianthus annuus sudah meluas di seluruh wilayah nusantara baik sebagai tanaman hias, tanaman komoditi maupun sebagai tanaman yang berfungsi untuk pengobatan (Rukmana, 2004).
Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisio : Spermatophyta
Divisio : Magnoliophyta
Classis : Magnoliopsida
Subclassis : Asteridae
Ordo : Asterales
Familia : Asteraceae (Compositae)
Genus : Helianthus
Species : Helianthus annuus
(Van Steenis, 1975)
Helianthus annuus merupakan tumbuhan tropika, mempunyai suhu udara antara 20-30°C kelembaban udara (rH) antara 50-80%, curah hujan antara 1000- 3000mm / tahun dan merata sepanjang tahun. Tanah yang ideal untuk tumbuh adalah tanah pasir atau lempung berpasir dengan tekstur gembur, mempunyai pH 6,5-7,5 dan system drainasenya baik. Helianthus annuus termasuk tanaman berhari panjang (long day plant) karena membutuhkan intensitas cahaya matahari yang tinggi dan cukup lama sehingga lokasi penanaman harus di tempat terbuka atau cukup mendapatkan sinar matahari kebutuhan sinar matahari rata-rata lebih dari 10 jam perhari (Rukmana,2004).
Bunga matahari merupakan hiperakumulator Pb dan diendapkan dalam jaringan daun dan batang (Gratao dkk., 2005). Tanaman ini merupakan tanaman hias sehingga baik digunakan untuk membersihkan lahan yang terletak di tepi jalan atau areal perkantoran pada lahan bekas tambang (Gratao dkk., 2005).
C. Mikoriza
Mikoriza merupakan bentuk simbiosis mutualisme antara fungi dan sistem perakaran tumbuhan. Peran mikoriza adalah membantu penyerapan unsur hara tanaman, peningkatan pertumbuhan dan hasil produk tanaman. Sebaliknya, fungi memperoleh energi hasil asimilasi tumbuhan(Smith dan Read, 2008).
Walaupun, simbiosis dengan tumbuhan pada lahan subur tidak banyak berpengaruh positif, namun pada kondisi ekstrim mampu meningkatkan sebagian besar pertumbuhan tanamanan (Smith dan Read, 2008). Efektivitas mikoriza dipengaruhi oleh faktor lingkungan tanah yang meliputi factor abiotik (konsentrasi hara, pH, kadar air, temperatur, pengolahan tanah dan penggunaan pupuk/pestisida) dan factor biotik (interaksi mikrobial, spesies cendawan, tanaman inang, tipe perakaran tanaman inang, dan kompetisi antar cendawan mikoriza). Adanya kolonisasi mikoriza dengan respon tanaman yang rendah atau tidak ada sama sekali menunjukkan bahwa cendawan mikoriza lebih bersifat parasit (Solaiman dan Hirata, 1995).
Hampir pada semua jenis tanaman terdapat bentuk simbiosis ini. umumnya mikoriza dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu: endomikoriza atau FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula, pada jenis tanaman pertanian), ektomikoriza (pada jenis tanaman kehutanan), dan ektedomikoriza (Harley dan Smith, 1983). FMA merupakan suatu bentuk asosiasi antara jamur dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, yang mencerminkan adanya interaksi fungsional yang saling menguntungkan anatara suatu tumbuhan dengan satu atau lebih galur mikrobia dalam ruang dan waktu. Tipe fungi ini dicirikan oleh hifa yang intrasesluler yaitu hifa yang menembus ke dalam korteks dari satu sel ke sel yang lain (Manan, 1993).
Diantara sel-sel tedapat hifa yang membelit atau struktur hifa yang bercabang-cabang yang disebut arbuskula. Pembengkakan yang terbentuk pada hifa yang berbentuk oval disebut vesikula. Arbuskula merupakan tempat pertukaran metabolit antara jamur dan tanaman. Adanya arbuskula sangat penting untuk mengidentifikasi bahwa telah terjadi infeksi pada akar tanaman (Scannerini dan Bonfante-Fosolo, 1983), sedangkan vesikula merupakan organ penyimpan makanan dan berfungsi sebagai propagul (organ reproduktif). Selanjutnya dikatakan bahwa seluruh endofit dan yang termasuk genus Gigaspora, Scutellospora, Glomus, Sclerocytis dan Acaulospora mampu membentuk arbuskula (Brundrett dkk., 1994).
Vesikula menurut Abbott dan Robson (1982), berbentuk globosa dan bersal dari menggelembungnya hifa internal dari fungi mikoriza. Vesikula ditemukan baik di dalam maupun di luar lapisan kortek parenkim. Tidak semua fungi mikoriza membentuk vesikula dalam akar inangnya, seperti Gigaspora dan Scutellospora. Banyak pendapat tentang fungsi dari vesikula ini, yaitu sebagai organ reproduksi atau organ yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan makanan yang kemudian diangkut ke dalam sel (Delvian, 2003).
Mikoriza meningkatkan pertumbuhan tanaman pada tingkat kesuburan tanah yang rendah, lahan terdegradasi dan membantu memperluas fungsi sistem perakaran dalam memperoleh nutrisi (Garg dan Chandel, 2010). Secara khusus, mikoriza berperan penting dalam meningkatkan penyerapan ion dengan tingkat mobilitas rendah, seperti fosfat (PO4 3-) dan amonium (NH4 +)
(Suharno dan Santosa, 2005) dan unsur hara tanah yang relatif immobil lain seperti belerang (S), tembaga (Cu), seng (Zn), dan juga Boron (B).
Mikoriza juga meningkatkan luas permukaan kontak dengan tanah, sehingga meningkatkan daerah penyerapan akar hingga 47 kali lipat, yang mempermudah melakukan akses terhadap unsur hara di dalam tanah. Mikoriza tidak hanya meningkatkan laju transfer nutrisi di akar tanaman inang, tetapi juga meningkatkan ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik (Smith dan Read, 2008).
Mikoriza mampu membantu mempertahankan stabilitas pertumbuhan tanaman pada kondisi tercemar (Khan, 2006). Menurut Marx (1982), akar tanaman yang terbungkus oleh mikoriza menyebabkan akar tersebut terhindar dari serangan penyakit dan hama. Infeksi patogen terhambat, di samping itu mikoriza menggunakan semua kelebihan dan eksudat akar lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok bagi pertumbuhan patogen. Menurut Anas (1997),mekanisme perlindungan dapat diterangkan sebagai berikut :
1. Adanya selaput hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen.
2. Mikoriza menggunakan hamper semua kelebihan karbohidrat dan eksudat lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen.
3. Cendawan mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan patogen.
4. Akar tanaman yang sudah diinfeksi cendawan mikoriza, tidak dapat diinfeksi oleh cendawan patogen yang menunjukkan adanya kompetisi.
) (Suharno dan Santosa, 2005) dan unsur hara tanah yang relatif immobil lain seperti belerang (S), tembaga (Cu), seng (Zn), dan juga Boron (B). Mikoriza juga meningkatkan luas permukaan kontak dengan tanah, sehingga meningkatkan daerah penyerapan akar hingga 47 kali lipat, yang mempermudah melakukan akses terhadap unsur hara di dalam tanah. Mikoriza tidak hanya meningkatkan laju transfer nutrisi di akar tanaman inang, tetapi juga meningkatkan ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik (Smith dan Read, 2008).
D. Senyawa Pengelat EDTA
Pengelatan adalah proses beberapa zat kimia yang digunakan memiliki kemampuan untuk mengikat logam lain (Winarsi, 2007). Kelat merupakan senyawa kimia yang terdiri dari ion logam dan pengelat, sedangkanpengelatmerupakan zat yang dapat membentuk ikatan molekul dari beberapa ion logam tunggal (ligand) (Winarsi, 2007). Dengan adanya pengelat seperti EDTA akan menstabilkan ion logam tersebut dengan membentuk senyawa yang kompleks yang lebih stabil (Sriyani 2008).
Asam etilen diamin tetra asetat atau yang lebih dikenal dengan EDTA, merupakan salah satu jenis asam amino polikarboksilat. EDTA sebenarnya adalah ligan seksidentat yang dapat berkoordinasi dengan suatu ion logam lewat kedua nitrogen dan keempat gugus karboksil-nya atau disebut ligan multidentat yang mengdanung lebih dari dua atom koordinasi per molekul, misalnya asam 1,2- diaminoetanatetraasetat (asametilenadiamina tetraasetat, EDTA) yang mempunyai dua atom nitrogen penyumbang dan empat atom oksigen penyumbang dalam molekul (Rivai, 1995).
E. Logam Berat Timbal(Pb)
Logam berat (LB) dalam jumlah kecil dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan, namun dalam konsentrasi tinggi akan menghambat pertumbuhan (Oves dkk., 2012). Pada konsentrasi tinggi, tumbuhan akan mengalami kerusakan akut dengan gejala seperti klorosis, perubahan warna, nekrosis dan kematian seluruh bagian tumbuhan. Disamping perubahan morfologi juga akan terjadi perubahan kimia, biokimia, fisiologi dan strukur tumbuhan (Oves dkk., 2012).
LB dikelompokkan dalam satu kategori dari 53 unsur yang mempunyai masa jenis spesifik lebih dari 5 g/ cm2 , dengan nomor atom 22 hingga 92. Logam berat dianggap berbahaya bagi kesehatan bila terakumulasi secara berlebihan di dalam tubuh (Oves dkk., 2012), beberapa diantaranya bersifat karsinogenik (menstimulasi pembentukan kanker). Beberapa kasus di dunia, bahkan Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh pencemaran lingkungan dari limbah industri, baik pertambangan kadar logam berat maupun pertanian. Toksisitas kadar logam berat di lingkungan telah meningkat secara drastis sebagai akibat dari aktivitas manusia (Adewole dkk., 2010).
Pada dasarnya, trace element seperti Cu, Fe, Mn, Ni dan Zn merupakan unsur esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Marschner, 1999). Unsur-unsur ini penting digunakan dalam reaksi berbagai katalis enzim atau reaksi redoks, transfer lektron dan fungsi struktural dalam metabolisme asam nukleat (Marschner, 1999). Sebaliknya, beberapa logam seperti Cd, Pb, Hg, dan As merupakan unsur non-esensial. Sebagian besar LB ini dikontrol dengan baik oleh tanaman melalui penyerapannya. Namun, tanaman juga mempunyai keterbatasan dalam melakukan homeostatis (Khan, 2006).
Timbal termasuk logam pascaransisi dan juga anggota dari kelompok karbon dengan simbol Pb dan memiliki nomor atom 82 berebentuk logam lembut, stabil, memiliki densitas tinggi, lembut, tahan korosi, memiliki konduktivitas lemah dan paruh waktu sangat lama (stabil) serta terdapat bebas secara alami dalam bumi dalam bentuk empat isotop, yaitu 204, 206, 207 dan 208 serta kemampuan bereaksi (Lide, 2004).
Timbal secara alami terdapat sebagai timbal sulfida, timbale karbonat, timbal sulfat dan timbal klorofosfat (Faust danAly, 1981).Kandungan Pb dari beberapa batuan kerak bumi sangat beragam. Batuan eruptif seperti granit dan riolit memiliki kandungan Pb kurang lebih 200 ppm. Timbal (Pb) mempunyai titik lebur yang rendah, sehingga mudah digunakan dan membutuhkan biaya yang relatif sedikit bagi industri (Faust danAly, 1981).
Timbal merupakan logam yang sangat beracun dan dapat memengaruhi setiap organ dan sistem dalam tubuh manusia. Anemia adalah gejala awal dari keracunan kronik karena timbal menghambat sintesa haemolyph (Duffus, 1980). Keracunan timbal yang disebut plumbism, colica pictorum, saturnism, Devon colic, atau penyakit mulas pelukis (painter’s colic) adalah suatu tipe keracunan logam yang berbahaya bagi manusia dan vertebrata karena dapat memengaruhi jantung, tulang, perut, ginjal, sistem reproduksi dan persarafan sentral (Duffus, 1980).
Timbal dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, makanan dan kontak dengan kulit (Duffus, 1980). Pb anorganik yang diabsorbsi melalui saluran pencernaan dan pernafasan, merupakan sumber utama Pb dalam tubuh (Fardiaz, 1992). Kira-kira 5-10% dari jumlah Pb anorganik yang tertelan akan diabsorbsi melalui saluran percernaan dan sekitar 30% yang terisap melalui hidung akan diabsorbsi melalui saluran pernafasan (Fardiaz, 1992). Pb yang tertinggal di dalam tubuh, baik dari udara maupun melalui makanan/minuman, akan mengumpul terutama di dalam tulang (90-95%). Tulang berfungsi sebagai tempat pengumpulan Pb karena sifat-sifat ion Pb2+ yang hampir sama dengan Ca2+ (Fardiaz, 1992).
Analisis Pb dalam tulang manusia cukup sulit untuk dilakukan, maka kandungan Pb dalam tubuh ditetapkan dengan menganalisa Pb dalam darah (Fardiaz, 1992). Jumlah Pb minimal dalam darah yang menimbulkan keracunan biasanya berkisar antara 60-100 μg per 100 ml darah untuk orang dewasa (Fardiaz, 1992). Gejala-geala akibat keracunan timbal antara lain, sakit perut, konvulsi, sakit kepala, kelelahan, sulit tidur, mual, kehilangan berat badan, kehilangan pendengaran, kehilangan nafsu makan, otot lemah, sulit berkonsentrasi, anemia, kerusakan ginjal, koma dan kematian. Keracunan akut menunjukkan tanda-tanda neurologis, sakit, melemahnya otot, sakit perut, muntah-muntah, diare dan konstipasi (Brunton dkk., 2006).
Subscribe to:
Posts (Atom)
No comments:
Post a Comment